Ketaatan ‘Si Pedang Allah’
Di penghujung pertempuran menjelang akhir, datang
seorang utusan kepada Khalid Bin Walid. Utusan Khalifah yang baru, Umar
Bin Khattab ra yang menggantikan Abu Bakar ra yang telah wafat. Surat
itu berisi pemberhentian Khalid dari jabatannya sebagai panglima perang
dengan Abu Ubaidah ra sebagai pengganti.
Dengan tenang Khalid bin
Walid membaca surat itu dan meminta kepada kurir untuk tidak
memberitahukan isi surat kepada siapa pun sampai peperangan berakhir.
Pertimbangan Khalid saat itu adalah khawatir instruksi dari Khalifah ini
dapat memecah konsentrasi pasukan muslimin. Pertempuran terus berlanjut
sampai akhirnya pasukan muslimin dapat mencapai kemenangan.
Usai
pertempuran yang melelahkan, saat peluh masih membasah, luka masih belum
terobati, darah masih menetes di ujung pedang. Sang Pedang Allah
bergegas menjumpai Abu Ubaidah untuk menyampaikan pesan pengangkatannya
sebagai panglima pengganti dirinya. Pemecatan Khalid oleh Khalifah Umar
bukan sama sekali dilandasi ketidaksukaan (like or dislike). Tapi lebih
didasarkan atas firasyatul mu’min untuk menyelamatkan aqidah umat dan
keimanan Khalid sendiri.
Kemenangan demi kemenangan yang dicapai
Khalid dalam pertempuran menjadikan namanya harum semerbak,
popularitasnya memuncak. Tapi prestasi spektakulernya ini membawa pada
kecenderungan pengkultusan akan dirinya. Khalifah Umar membaca ini dan
khawatir umat terperosok, begitu juga Khalid akan mendapatkan fitnah
yang besar.
Selanjutnya Khalid kembali berjuang di bawah kendali
mantan anak buahnya sebagai jundi al-muthi’ah tanpa mempedulikan
statusnya yang “turun pangkat”. Ketika dikonfirmasi tentang pemecatan
dirinya, beliau menjawab: “Aku berperang bukan untuk Umar tapi karena Allah swt”.
Subhanallah! Sepenggal kisah yang sarat makna dan
penuh hikmah. Tarbiyah qiyadiyah yang sungguh luar biasa. Penghentian
tugas struktural (wazhifah tanzhimiyah) oleh Khalifah terhadap Panglima
Perangnya adalah soal ru’yah qiyadiyah, sebuah keputusan yang harus
disikapi dengan ketaatan. Sama sekali tidak menghilangkan tugas
fungsionalnya (wazhifah mashiriyah) sebagai mujahid yang harus selalu
berada di barisan tentara Allah. Inilah inspirasi sekaligus spirit bagi
kita di tengah tugas-tugas kita menuntaskan agenda-agenda dakwah ke
depan.
1. Tidak Panik, Tetap Berada dalam Kesadaran
Bagi
orang biasa ‘Pemecatan’ serasa gempa bumi, begitu cepat membuat banyak
orang panik. Tapi itu tidak terjadi pada diri Khalid Bin Walid, padahal
kejadiannya ketika pertempuran tengah berkecamuk, yang bisa jadi memicu
orang mata gelap, kalap bahkan hilang akal sehat. Kekuatan jiwa
kepemimpinannya berhasil mengelola kepanikan yang menimpanya. Baik itu
kepanikan anak buah, ataupun dirinya sendiri. Sehingga, seluruh
kepanikan yang terjadi dapat diatasi dengan baik, ada strategi dan ada
solusi yang cukup realistis. Dengan kata lain, Khalid adalah pemimpin
yang menjadi “penenang” dan “pengarah” dalam menghadapi kepanikan, bukan
justru menjadi lebih panik daripada anak buahnya sendiri. Dia memiliki
arah untuk membawa anak buah ke jalan yang seharusnya, bahkan cenderung
rela berkorban untuk keselamatan barisan tentaranya. Sehingga dalam
kepanikan, akan terdengar ucapan yang menyejukkan. “Aku berperang bukan
untuk Umar tapi karena Allah swt”.
2. Tidak Kecewa, Tetap Berada dalam Tsiqah
Bagaimana
sikap Khalid membaca surat pemecatan dirinya? Ia menerima pemberhentian
tersebut dengan sikap kesatria. Tidak sedikit pun kekecewaan dan emosi
terpancar dari wajahnya. Kekecewaan akan menyulut kemarahan, sementara
kemarahan hanya akan menenggelamkan seseorang dalam “kuburan” ego yang
akan menjerumuskan diri dalam persoalan. Sikap mudah emosi atau
temperamental tidak ada pada Khalid Bin Walid. Khalid dapat menguasai
naluri kekuasaan yang ada padanya (hubbus siyadah) dan tidak menjadikan
dukungan anak buahnya kepadanya sebagai alat untuk mempertahankan dan
melanggengkan jabatannya. Bahkan dia tetap berperang di bawah komando
baru dan menaati segala perintah Abu Ubaidah yang kini menjadi
atasannya.
Bagi orang biasa tentu sudah sakit hati bila berada
pada posisi yang sama seperti dialami oleh Khalid Bin Walid. Kekecewaan
akan membuat seseorang mudah diprovokasi dan ujung-ujungnya ia akan
bertindak sembrono sehingga akan membodohi diri sendiri. Oleh karena
itu, kemarahan yang disulut karena kekecewaan biasanya hanya akan
“terjebak” dalam kubangan yang mencelakakan.
Sesungguhnya apapun
yang kita miliki, harta, anak atau jabatan, prinsipnya adalah ‘laysa
maalikan ashilaan’ kita bukanlah pemilik aslinya. Jabatan itu sifatnya
mandatory, secara hirarkis amanah jabatan diberikan kepada seseorang.
Tidak bisa dituntut, direkayasa apalagi dengan melakukan
‘gerakan-gerakan’ illegal mendukung atau membendungnya.
3. Tidak Membalelo, Tetap Berada dalam Tansik
Tentu
akan lain situasinya andaikan Khalid protes atas pemberhentian dirinya
sebagai Panglima dan kemudian memobilisasi pendukungnya demi jabatan
itu, seperti yang sering dan banyak terjadi saat ini, pasti akan terjadi
kekacauan dan umat akan terpecah belah, sehingga terjadi perkelahian
dan pertempuran didalam barisan dan tentunya musuh akan dengan mudah
menghantam mereka, dan penaklukan Romawi pun mungkin hanya akan ada
dalam angan-angan. Sungguh luar biasa, kebesaran jiwa Khalid.
Tidak
mudah bagi seseorang menerima kenyataan yang menimpa dirinya. Pemecatan
terkadang diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap dirinya. Siapa
pun kita, pasti ingin dicintai, mencintai, dipercayai, dan mempercayai
orang lain. Tetapi, ketika sakit hati tiba, sulit rasanya untuk kembali
memaafkan dan mempercayai orang yang melakukannya. Bahkan mungkin merasa
sulit untuk membuka hati dan perasaan kepada orang lain yang tidak tahu
apa-apa. Ini adalah dilema yang harus dihadapi. Akhirnya, terserah
kita, memilih untuk berjalan sendiri atau melanjutkan hubungan setelah
apa yang terjadi. Satu hal yang pasti, roda dakwah akan terus berputar
dengan atau tanpa sakit hati.
Tetap disiplin pada ketentuan dan
kendali struktur. Ketentuan tersebut menjadi aksioma yang mengikat
kader-kader yang berhimpun di dalamnya. Dengan begitu seluruh sikap
kader senantiasa atas arahan yang menjadi kebijakan struktur (Tansik al
a’mal). Tidak ‘menyempal’ sendirian. Karena sikap semacam itu akan
berakibat bagi yang lainnya dan tanzhim secara langsung. Karenanya
mereka yang melakukan perbuatan semisal itu dikategorikan sebagai sikap
indisipliner. Hal itu ditunjukkan walaupun sudah bukan menjadi mas’ul
wilayah tertentu. Seseorang tidak berhak memobilisasi mantan anak
buahnya tanpa berkoordinasi dengan shahibul wilayah yang baru. Inilah
kesalihan berorganisasi yang ada pada diri Khalid ra.
4. Tidak ‘Diam’ Tetap Berada dalam Amal.
Seorang
panglima perang terbaik di zamannya, sedang berada di puncak karir.
Harus mundur di tengah masa jabatan atas permintaan atasannya. Oleh
suatu alasan yang tidak dapat didefinisikan secara teks hukum di masa
kini. Lalu apakah ia kemudian marah dan kemudian mangkir dari perang
setelah tidak menjabat lagi sebagai panglima? Atau memperkarakan
atasannya ke meja hijau? Ternyata tidak, iapun kembali ikut berperang
sebagai prajurit biasa tanpa ada rasa malu atau sakit hati. Betapa
bahagianya Khalid bin Walid. Lihatlah, betapa mudahnya ia menyerahkan
jabatan kepada anak buahnya. Orientasi perjuangannya adalah Allah, bukan
jabatan, ketenaran dan kepuasan nafsunya.
Sungguh pribadi yang
memiliki loyalitas kuat (Quwwatul Intima’i). Hal ini sebagai sikap yang
amat prinsipil. Lantaran dari situlah prestice keimanan terbentuk
menjadi bangunan yang kuat dalam sanubari seorang mukmin. Bila demikian
halnya kader dakwah mampu mengemban amanah yang diserahkan pada dirinya.
Kemudian melaksanakannya dengan segera, berpikir, bersikap dengan
langkah tidak keliru. Agar dalam waktu yang cepat dapat segera mengambil
posisi untuk musyarakah da’awiyah (partisipasi dakwah).
Seorang
ulama dakwah bergumam lantang pada dirinya. ‘Wahai fulan bin fulan,
duhai teman hari ini semua tempat telah jelas untuk siapa? Tiada tempat
yang kosong. Semua sibuk mencarinya namun tak seorang pun yang berani
berada pada posisi duduknya yang berbahaya. Aku inginkan diriku yang
menempatinya. Siapkan kalian mengikuti ku untuk mengambil posisi suci?.
“Katakanlah:
“Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha
Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (Q.S.
Yusuf: 108).
Marilah kita terus mengevaluasi diri. Boleh jadi kita
sibuk beramal, namun sebaik-baik amal adalah dalam konteks jihad fi
sabilillah. Dan sebaik-baik jihad fi sabilillah adalah yang selalu dalam
bingkai nizhamiyatut thaat. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar